Merasakan pengalaman belajar di luar negeri serta mendapatkan seluruh manfaatnya merupakan sesuatu yang berharga bagi para mahasiswa. FTMD yang memiliki relasi dengan lebih dari 30 universitas terbaik dari seluruh dunia, tentunya memfasilitasi mahasiswanya untuk melakukan pertukaran pelajar ke universitas impian mereka. Gabriele Maruli Tondi, salah satu mahasiswa semester akhir program studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) yang sedang menjalani bulan terakhirnya sebagai mahasiswa exchange ke Tokyo Institute of Technology, Jepang atau yang lebih akrab disebut Tokyo Tech pada saat artikel ini dibuat. 

Menjadi salah satu mahasiswa terpilih dan mendapat kesempatan bertandang ke Negeri Sakura, merupakan hal yang disyukuri Gabriele. Selain pengalaman mengikuti berbagai mata kuliah di kelas internasional Tokyo Tech, Gabriele juga mendapat berbagai wawasan, kawan, dan pengetahuan baru selama 6 bulan (September 2022 – Februari 2023) menjadi peserta student exchange. Di bawah bimbingan salah satu profesor di laboratorium Tokyo Tech, Gabriele juga melakukan penelitian  mengenai pembakaran hidrogen dimana topik tersebut sesuai dengan  topik tugas akhirnya. Tentunya ini akan memudahkannya untuk menyelesaikan salah satu syarat kelulusan di ITB, yaitu menuntaskan tugas akhir.  

“Kalau saya, (pertimbangannya) lebih ke scholarship (beasiswa) dan mencari penelitian yang sesuai dengan topik (riset) saya buat bantu tugas akhir,” simpul Gabriele saat ditanya mengenai alasan memilih universitas tujuan untuk pertukaran pelajar. 

Penelitian  di Tokyo Tech 

Mengenai penelitian yang digarapnya, Gabriele menjelaskan, penelitiannya tersebut adalah bentuk analisis investigasi komposisi dan struktur lidah api (flame) dari pembakaran hidrogen dan oksigen. Topik ini dipilih karena ia memang sedang mencari data yang berkorelasi dengan subjek tersebut untuk kepentingan tugas akhir. 

Adapun keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan investigasi ini adalah Gabriele dapat menyusun laporan dan membawakan presentasi singkat lima menit untuk memaparkan hasil penelitiannya di hadapan dosen Tokyo Tech.  

“Tokyo Tech juga menawarkan sertifikat. Tapi untuk pengambilannya itu nanti laporannya harus minimal sepuluh halaman, lalu presentasinya kayak seminar gitu dan bakal diuji oleh dosen-dosen,” tuturnya. Ketika ditanya mengenai publikasi jurnal akademik, Gabriele menjawab belum memiliki rencana untuk  menjadikan hasil riset tersebut menjadi sebuah jurnal akademik. 

Perbedaan Budaya dan Kebiasaan Mahasiswa Internasional 

Selama mengikuti program itu, Gabriele ditempatkan di sebuah asrama (dormitory) khusus berisi mahasiswa internasional laki-laki dari berbagai belahan dunia lainnya. Gabriele mengungkapkan ia mendapat banyak wawasan baru dari obrolan dan memperhatikan kebiasaan para mahasiswa di asramanya. Sama halnya cara berpakaian, pola pikir, dan gaya berkomunikasi, setiap mahasiswa memiliki khas dari negaranya masing-masing yang menjadi pembeda antar budaya. 

“Contohnya, kalau orang-orang Skandinavia cenderung lebih kalem dan sopan, kalau (orang) Eropa Barat kayak Jerman atau Belanda gitu mereka lebih ke blak-blakan. Nah, orang Asia Timur kebanyakan lebih malu gitu,” ungkapnya lebih detail. Gabriele menyimpulkan, bertemu dan bergaul dengan teman-teman baru dari 15 negara lebih menjadi pengalaman tersendiri baginya. 

Gabriele juga bercerita, ia kerap Gabriele juga bercerita, ia kerap menghabiskan waktu bersama kawan-kawan internasionalnya, berjalan-jalan dan mengunjungi berbagai tempat baik di ibu kota Jepang itu maupun di wilayah pinggiran kota. Mereka bahkan tak jarang melakukan diskusi dan mengobrol ringan melalui aplikasi Discord ketika hendak pergi keluar bersama. 

“Kemarin juga kita nonton piala dunia (2022) bareng-bareng,” imbuhnya. 

Meskipun tidak memiliki kegiatan resmi yang bertujuan untuk memperkenalkan budaya negara masing-masing ke lingkungan internasional, Gabriele tetap berupaya mengenalkan Indonesia lewat kulinernya yang sering kali ia bagi ke teman-teman di asrama. 

“Kalau ngenalin Indo ke mereka (teman-teman internasional) paling ya, masak makanan Indo aja begitu. Pakai bumbu masakan Indo kayak tongseng, sop ayam begitu, lalu sharing sama mereka,” jelasnya lebih lanjut. 

Kendala Utama Bahasa 

Perihal kendala yang dihadapi selama program pertukaran pelajar berlangsung, Gabriele menyebutkan perbedaan bahasa sebagai kendala utamanya. Ketika pertama kali masuk laboratorium, Gabriele merasa agak kesulitan menyimpulkan reaksi mahasiswa lokal dari Jepang pasca ia berkomunikasi dengan bahasa Inggris penuh. 

Karena asramanya berisi mahasiswa internasional dari berbagai negara, berkomunikasi antar kawan di asrama bukan masalah baginya. Lain halnya keadaan yang ia hadapi jika di kelas ia mendapat dosen yang menggunakan bahasa Jepang sebagai pengantar perkuliahan.  

“Kalau di kelas, kan, seharusnya (pakai) bahasa Inggris karena kelas internasional, ya. Di hari pertama memang pakai Inggris dosennya. Eh, tapi di hari kedua itu pada pakai Jepang karena mungkin (dosennya) lupa ada mahasiswa pertukaran di kelasnya,” tuturnya menceritakan pengalaman unik tersebut. 

Untuk mengatasi kendala tersebut, Gabriele pun mengambil kelas (course) Bahasa Jepang di Tokyo Tech. Gabriele menilai, untuk level percakapan sederhana bahasa Jepang yang menggunakan frasa sehari-hari, dirinya sudah mampu. Namun, untuk mengobrol dengan orang Jepang menggunakan bahasa Jepang sepenuhnya, hal tersebut masih menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Gabriele. 

“Saya lebih ke praktik, sih. Kalau untuk percakapan dasar kalau mau belanja atau beli makanan sejauh ini sudah bisa,” aku Gabriele.  

Perubahan Pola Pikir dan Testimoni  

Banyak berinteraksi dengan kawan-kawan dari mancanegara mengubah satu hal dari pola pikir Gabriele, yakni keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 2 (S2). Hal tersebut dipicu fakta yang Gabriele temui di lapangan yaitu sebagian besar mahasiswa, terutama mahasiswa lokal Jepang telah memiliki rencana mengambil program S2 langsung setelah lulus S1 di Tokyo Tech. 

“Awalnya saya enggak mau lanjut S2. Tapi kalau di sini kebanyakan setelah S1, mahasiswa langsung ambil S2 karena ternyata S1, belum cukup untuk mendapatkan pekerjaan,” jelasnya. Gabriele menambahkan, pertimbangan melanjutkan ke S2 selain menyelesaikan tugas akhir akan ia lakukan sepulang dari pertukaran ini. 

Menyinggung mengenai tips lolos seleksi pendaftaran program pertukaran pelajar, Gabriele menegaskan, turut mempertimbangkan pilihan kampus dari jumlah kuota yang tersedia dari IRO merupakan hal penting di samping menyiapkan segala persyaratan dengan sebaik-baiknya. 

“Menurut saya yang agak susah itu lebih ke mendapatkan lab yang sesuai (dengan topik penelitian), sih. Agak susah juga cari profesor pembimbingnya. Harus kirim e-mail sana-sini, lalu di e-mail itu harus menyertakan CV, transkrip, alasan, serta bidang dan topik yang dicari. Terus, IP juga harus ditulis jelas di badan e-mail,” pungkas Gabriele. 

Secara keseluruhan, Gabriele merasa senang bisa mengikuti program pertukaran pelajaran ke Tokyo itu. Selain bertemu kawan baru dari berbagai belahan dunia hingga membuka pandangannya tentang pendidikan, banyak wawasan dan pengetahuan baru yang ia dapat dari pengalaman riset serta bergaul bersama mereka. Risetnya juga sangat terbantu dari data-data dan dukungan dosen pembimbingnya di lab. Meskipun bukan “mahasiswa resmi” Tokyo Tech, merasakan keseruan dan lingkungan suportif dari teman dan dosen, menciptakan kesan tersendiri yang tidak akan dilupakan Gabriele.