Mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Material, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Moch Saifur Rijal, berkesempatan mengikuti program Postgraduate Research Exchange di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Program ini merupakan bagian dari kerja sama riset antara Indonesia–NTU Singapore Institute of Research for Sustainability and Innovation (INSPIRASI). Ia akan melaksanakan dua periode riset di School of Material Science and Engineering (MSE) NTU, yakni pada 3 September–27 November 2024 dan 14 Januari–15 Mei 2025.

Rijal tengah mengembangkan riset berjudul “Valorising Sericin and Keratin Protein-based Biomass Residues for Hydrogel Biomaterials.” Di bawah bimbingan Dr. Arie Wibowo dan Dr. Lia Amelia Tresna Wulan Asri, peneliti muda ini berupaya memanfaatkan limbah biomassa berbasis protein seperti rambut, bulu ayam, wool, dan kepompong sutera menjadi hidrogel biomaterial penyembuh luka yang ramah lingkungan dan biokompatibel. “Biokompatibilitas protein keratin dan serisin yang tinggi sangat potensial untuk mempercepat penyembuhan luka. Dengan riset ini, limbah dapat diubah menjadi material bernilai tinggi untuk bidang biomedis,” ujarnya.

Latar belakang laboratorium tempatnya bernaung di FTMD ITB memang berfokus pada konsep sustainability. Rijal mengaku, pendekatan berkelanjutan inilah yang membawanya semakin tertarik mengolah limbah biomassa menjadi material maju. Sebelumnya, saat menempuh studi magister, ia juga meneliti biomaterial berbasis selulosa untuk membran desalinasi air laut. “Kami ingin membuktikan bahwa inovasi hijau bisa lahir dari laboratorium di Indonesia,” katanya.

Namun, pengalaman di NTU memberikan warna baru yang tak terbatas pada ruang laboratorium. Ia mengaku mendapatkan banyak pelajaran berharga dari kehidupan sehari-hari di Singapura, mulai dari efisiensi transportasi publik hingga tata kelola sosial yang menghargai waktu dan kebersihan. “Eksposur di negara maju membuka mata saya bahwa kualitas hidup dan sistem sosial yang baik ternyata juga berperan besar dalam mendukung produktivitas penelitian,” ujarnya.

Selain itu, budaya riset di NTU meninggalkan kesan mendalam bagi Rijal. Ia menyaksikan bagaimana setiap data diuji berulang kali untuk memastikan validitas, dan bagaimana komunikasi antarpeneliti dijaga dengan profesional. “Budaya riset yang etis dan disiplin membuat setiap langkah penelitian terukur. Di Indonesia, kadang fasilitas yang terbatas jadi kendala, tapi di NTU semuanya sangat sistematis,” katanya.

Selama di NTU, Rijal mendapat kesempatan menggunakan fasilitas riset canggih, termasuk laboratorium uji biokompatibilitas yang memerlukan standar biosafety tinggi. Ia juga mendapat akses ke jurnal ilmiah berlangganan dan fasilitas meja kerja pribadi yang mendukung produktivitas akademik. Dari riset kolaboratif ini, ia tengah menyiapkan draft book chapter bersama tim NTU.

Bagi Rijal, menjadi mahasiswa ITB memberikan keuntungan besar berupa jejaring riset yang luas, baik di dalam maupun luar negeri. “Jejaring ITB sangat kuat. Itu privilege yang saya syukuri karena membuka peluang kolaborasi dan memperluas wawasan riset saya,” ungkapnya.

Lebih dari sekadar penelitian, pengalaman internasional ini memperkaya pandangannya tentang makna kolaborasi global dan kehidupan lintas budaya. Ia berharap wawasan tersebut dapat ia bawa kembali ke Indonesia untuk memperkuat budaya riset yang lebih terbuka dan berstandar tinggi. “Ilmu tidak hanya datang dari laboratorium, tapi juga dari cara kita belajar menghargai sistem dan manusia di tempat lain,” tuturnya.

Melalui pengalaman seperti yang dijalani Moch Saifur Rijal, FTMD ITB menunjukkan bahwa internasionalisasi program doktoral tidak hanya soal fasilitas dan publikasi, tetapi juga pembentukan karakter peneliti yang berwawasan global, beretika, dan adaptif terhadap perubahan dunia.