Mahasiswi S3 FTMD ITB Jalani Riset di NTU Singapura, Bukti “S3 Lokal, Rasa Global”
Mahasiswi doktoral Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Wika Ratnasari, berkesempatan untuk melakukan program pertukaran riset di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, selama tiga bulan, mulai 1 September hingga 5 Desember 2024. Pengalaman tersebut menjadi bagian dari upaya FTMD ITB mendorong internasionalisasi program doktoralnya, agar mahasiswa S3 dapat berkiprah di ranah global tanpa meninggalkan akar keilmuannya di tanah air.
Wika, yang menempuh studi di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hermawan Judawisastra, M.Eng. bersama Ekavianty Prajatelistia, Ph.D. dan Prof. Dr. Anggraini Barlian, M.Sc., meneliti pengembangan scaffold tulang berbasis limbah ikan lele yang dipadukan dengan nanopartikel cerium oxide. Melalui teknologi 3D printing, riset ini bertujuan menciptakan material yang tidak hanya biokompatibel dan mendukung pertumbuhan sel tulang, tetapi juga memiliki efek antibakteri yang baik.
Ketertarikan Wika pada bidang biomaterial berawal dari keprihatinannya terhadap limbah ikan yang melimpah dan belum dimanfaatkan optimal, serta laba-laba yang kerap dianggap hama di kawasan pertanian Lembang. Ia melihat peluang besar mengubah limbah tersebut menjadi bahan bernilai tinggi untuk regenerasi tulang. “Saya ingin riset saya bisa menjadi kontribusi nyata bagi pengembangan biomaterial di Indonesia,” ujarnya.
Selama mengikuti program di NTU, Wika memperoleh pelatihan laboratorium intensif dan kesempatan untuk menyusun draf publikasi ilmiah bersama peneliti setempat. Ia mengaku pengalaman itu membuka wawasannya tentang cara berpikir ilmiah dan standar riset internasional. “Di NTU, etos kerja dan sistem risetnya sangat terstruktur. Kami didorong untuk berpikir kritis dan kolaboratif lintas disiplin,” tuturnya.
Meski mengakui perbedaan fasilitas antara Indonesia dan Singapura, Wika menilai hal itu justru menjadi pelajaran berharga. “Di luar negeri, infrastruktur riset sangat lengkap sehingga peneliti bisa fokus pada ide dan analisis. Sementara di Indonesia, kita terbiasa berimprovisasi menghadapi keterbatasan, dan itu melatih kemampuan problem solving yang kuat,” kata dia.
Sebagai mahasiswa ITB, Wika merasa beruntung memiliki fondasi akademik yang kokoh. Ia menilai reputasi ITB turut membuka pintu kolaborasi riset di luar negeri. “Nama ITB dikenal baik, sehingga saya lebih percaya diri saat berinteraksi dengan peneliti internasional,” ujarnya. Program pertukaran yang diikutinya juga bersifat fully funded sebagai bagian dari kerja sama riset antara ITB dan NTU, sehingga ia tidak dikenakan biaya kuliah selama periode tersebut.
Bagi Wika, studi doktoral bukan hanya tentang meraih gelar tertinggi, melainkan proses panjang untuk mengasah ketekunan, konsistensi, dan ketajaman berpikir. “Saya berharap ke depan bisa menjadi akademisi yang tidak hanya mengajar, tapi juga membangun riset yang berdampak bagi masyarakat,” katanya menutup perbincangan.
Melalui pengalaman mahasiswa seperti Wika, FTMD ITB terus menunjukkan komitmennya dalam menghadirkan program doktoral yang berdaya saing global. Dengan semangat “S3 boleh lokal, tapi rasanya global,” FTMD ITB berupaya mencetak peneliti dan akademisi yang mampu menjembatani ilmu pengetahuan dunia dengan kebutuhan bangsa.