Peneliti FTMD ITB Kembangkan Teknologi Es Balok Tenaga Surya untuk Nelayan Pulau Terpencil
Nelayan tradisional di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, selama ini menghadapi tantangan besar untuk menjaga kesegaran hasil tangkapan ikan mereka. Terbatasnya produksi es balok di pulau-pulau kecil serta suplai listrik yang tidak stabil membuat distribusi ikan segar menjadi kendala serius, bahkan memaksa nelayan menjual hasil tangkapan dengan harga rendah.
Kabupaten Kepulauan Anambas, yang terdiri atas 238 pulau dengan luas daratan hanya 1,35% dari total wilayah 634,96 km², dikenal sebagai salah satu sentra perikanan dengan produksi harian mencapai 14.153 ton. Namun, fasilitas pendingin yang memadai masih minim. Saat ini hanya ada dua pabrik es balok—satu milik swasta dengan kapasitas terbatas, dan satu milik pemerintah dengan kapasitas 20 ton per hari yang hanya beroperasi atas permintaan. Jumlah ini belum mampu memenuhi kebutuhan nelayan lokal, terutama kelompok nelayan perjalanan panjang yang memerlukan hingga 1,5 ton es per perjalanan.
Menjawab tantangan ini, tim peneliti gabungan dari ITB, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Horizon Teknologi, dipimpin oleh Dr. Ir. Yuli Setyo Indartono, S.T., M.T. dari Kelompok Keahlian Ilmu dan Rekayasa Termal FTMD ITB yang beranggotakan Musfirin (Horizon Teknologi), Andhita Mustikaningtyas (Jurusan Pendidikan Teknik Mesin, UNY) dan M. Aditia Sinurat (FTMD ITB), mengembangkan desain instalasi produksi es balok berbasis energi terbarukan. Teknologi ini menggabungkan mesin pembuat es, cold storage, dan sistem fotovoltaik (PLTS) yang mampu memproduksi es balok 5 ton per hari.
Sistem dirancang untuk memanfaatkan potensi energi matahari di Anambas yang mencapai iradiasi harian rata-rata 4,564 kWh/m². Simulasi desain dilakukan menggunakan perangkat lunak HOMER dan PVSyst untuk memastikan pasokan energi stabil, bahkan di tengah kondisi jaringan listrik lokal yang sering mengalami pemadaman.
Dari tiga skenario yang dianalisis, sistem PLTS hybrid dengan baterai cadangan dipilih sebagai solusi terbaik. Sistem ini terdiri atas panel surya berkapasitas 108,48 kWp, inverter 100 kW, baterai penyimpanan 130 kWh, dan koneksi ke jaringan listrik. Konfigurasi ini mampu memasok daya hingga 46,5 kW untuk mesin es dan cold storage berkapasitas total 15 ton.
“Desain ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga secara ekonomi lebih efisien dengan biaya energi tersamaratakan (LCOE) sekitar Rp1.918 per kWh, lebih rendah dibanding biaya pembangkitan PLN di Anambas,” jelas Yuli Setyo Indartono.
Penerapan teknologi ini akan berdampak signifikan bagi perekonomian masyarakat pesisir. Dengan ketersediaan es balok yang lebih stabil, nelayan dapat menyimpan ikan lebih lama tanpa khawatir penurunan kualitas. Hal ini memungkinkan mereka menjual ikan dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu, cold storage yang terintegrasi akan mendukung pengolahan hasil tangkapan sehingga memperpanjang umur simpan dan membuka peluang usaha baru.
Selain itu, penggunaan energi surya juga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal dan sulit didistribusikan ke pulau-pulau kecil. Ini sejalan dengan upaya nasional untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi.
Saat ini tim pengembang tengah menjajaki peluang pendanaan dengan berbagai instansi agar instalasi perdana dapat segera dibangun di Desa Temburun, Pulau Siantan, yang dipilih karena aksesibilitas dan kesiapan lahan.
Jika proyek ini berhasil, model serupa dapat direplikasi di pulau-pulau terpencil lainnya di Indonesia yang memiliki potensi perikanan tinggi namun menghadapi kendala serupa.