Bandung – Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) Institut Teknologi Bandung menyelenggarakan program pengabdian masyarakat di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur awal Juni 2022 dengan mensosialisasikan alat solar still yang berfungsi memproses air asin/kotor menjadi air bersih dengan menggunakan energi surya.

Tim yang dipimpin oleh dosen dari Kelompok Keahlian Konversi Energi, Poetro Sambegoro dan Firman Bagja Juangsa bersama dengan dua alumni Teknik Mesin: Alexander Fernando Lauvandy dan Faiz Akbar Raihananda telah melaksanakan kegiatan sosialisasi alat solar still kepada guru dan murid di SMA Kristen Waibakul, Sumba Tengah.

Solar still yang tengah diaplikasikan tersebut telah melewati proses pengembangan sejak dua tahun yang lalu. Dalam beberapa bulan terakhir, penyempurnaan model full-scale dilakukan sebelum akhirnya diimplementasikan di daerah Sumba Tengah.

Ketua Tim Peneliti, Poetro Sambegoro, mengatakan bahwa alat ini didesain sesederhana mungkin dengan menggunakan bahan yang murah serta mudah didapatkan seperti pipa, handuk, busa, plastik, alat penampungan air serta beberapa bahan lainnya.

“Alat ini menggunakan prinsip distilasi. Jadi cara kerjanya air kotor masuk dari bawah, dapat berupa kolam, danau, ataupun air laut. Kemudian diserap ke atas menggunakan handuk yang memanfaatkan gaya kapiler fungsinya seperti sumbu kompor. Air yang sudah diserap handuk kemudian diuapkan menggunakan energi matahari. Air kemudian menguap sedangkan pengotor ataupun garamnya akan tertinggal. Uap air kemudian didinginkan dan terkondensasi di cover yang kemudian dikumpulkan,” katanya.

“Alat ini memang dibuat sesederhana mungkin agar setiap orang bisa membuat dan menerapkannya sendiri tetapi tetap melalui proses rekayasa sehingga efisiensi alatnya dapat dimaksimalkan,” tambahnya.

Tim peneliti telah menguji performa alat di berbagai tempat dengan berbagai kondisi, termasuk di Kabupaten Sumba Tengah. Dalam rentang 24 jam, alat ini bisa menghasilkan 1,5 liter hingga 2 liter air bersih walau kondisi cuaca berawan.

“Ini hasil yang didapatkan untuk alat dengan luas satu meter persegi. Kalau memang ingin lebih banyak alatnya dibuat lebih luas, jadi menyesuaikan dengan kebutuhan” katanya.

Sementara itu, salah satu peneliti, Firman Bagja Juangsa, menjelaskan bahwa pada awalnya, alat ini didesain untuk beroperasi secara terapung di laut, danau atau sumber air kotor lainnya. Namun setelah dilakukan survei di lapangan, ditemukan banyak masyarakat yang terkendala oleh jauhnya jarak dan sulitnya akses ke danau atau laut.

“Awalnya didesain ditempatkan di danau atau air laut mengapung makanya disebut floating, tapi setelah kita survei tidak semua orang memiliki akses ke sumber air yang besar, tidak semua orang dekat situ.”

“Tapi kasusnya adalah semua orang mengalami kesulitan air bersih, jadi kita modifikasi sedikit dengan memasang tangki jadi di depan rumah pun bisa digunakan. Yang penting ada air kotor atau air hujan yang ditampung.” katanya.

Menurutnya, alat ini bisa digunakan oleh siapa saja dan sangat ideal untuk diaplikasian di daerah yang belum terelektrifikasi karena menggunakan tenaga surya dalam proses penyulingannya.

Seluruh tim berharap alat ini dapat menjadi salah satu solusi yang mudah dan murah dalam permasalahan air bersih yang sering terjadi di daerah terpencil.

Pengembangan akan terus dilakukan dari segi performa untuk meningkatkan jumlah luaran air bersih serta dari segi material untuk menekan biaya pembuatan agar alat menjadi lebih terjangkau oleh kalangan yang membutuhkan.